Jumat, 27 Januari 2012

Ciri-Ciri dan Tips Keluarga Bahagia

Keluarga yang diidealkan setiap manusia adalah keluarga yang memiliki ciri-ciri mental sehat yang penuh sâkinah (perasaan tenang), mawaddah (cinta), dan rahmah (kasih sayang). Antaranggota keluarga saling mencintai, hingga di antara mereka terdapat kesatuan (unity) satu terhadap lainnya.

Terdapat beberapa ciri pola hubungan yang melekat pada keluarga yang bahagia. Yaitu kesatuan dengan Sang Pencipta dan alam semesta, komitmen berkeluarga, tausiyah dan feedback, keluwesan, kesatuan fisik dan hubungan seksual yang sehat, kerjasama, serta saling percaya.

Pertama, Kesatuan dengan Sang Pencipta
Setiap manusia dan unit kesatuan manusia, semestinya memelihara keterikatan dengan Allah SWT, Sang Pencipta. Keterikatan ini sesungguhnya bersifat alamiah. Dan antara manusia dan Tuhan telah terjadi perjanjian primordial, yaitu Allah sebagai Tuhan manusia. Para ahli psikologi menyederhanakannya dengan istilah religious instinct.

Bila keterikatan alamiah ini dipelihara, maka manusia berada dalam posisi mempertahankan dan memelihara fondasi kepribadiannya. Dalam kehidupannya, ia memperoleh ketenangan, rasa cinta, dan kasih sayang.

Kesatuan dengan Sang Pencipta dalam masalah pernikahan ini, disederhanakan dengan ungkapan pernikahan, yang merupakan bagian dari ibadah. Artinya, ketika roda kehidupan pernikahan dilangsungkan dan dijalankan (dibentuk keluarga), maka yang dilakukan keluarga adalah berdasarkan kerangka kesatuan dengan Tuhan. Karena pernikahan adalah bagian dari kehendak Allah dan syariat para Nabi-Nya.

Maka, ketika perjalanan hidup berkeluarga dijalani, mereka akan selalu berusaha untuk mendapatkan kebaikan dan kesejahteraan dari Allah. Dan jika timbul masalah, mereka akan mengembalikannya kepada Sang Pencipta. Mereka pun sadar sepenuhnya bahwa Sang Pencipta memuliakan pernikahan dan sangat membenci perceraian.

Kesatuan dengan Tuhan yang berkonteks keluarga, paling kentara dicontohkan oleh Nabi Ibrahim AS. Segenap langkah hidup Bapak para nabi ini dinaungi semangat menyatukan diri dengan Tuhan. Bahkan, karena kesatuannya dengan Tuhan, Nabi Ibrahim rela untuk melakukan apapun yang Allah perintahkan.

Karena kerelaannya menjalankan perintah Tuhan, Nabi Ibrahim bersedia untuk ‘meninggalkan’ anak bayi dan istrinya di padang tandus. Ia juga patuh ketika Allah perintahkan untuk menyembelih anak yang amat dicintainya. Kerelaan ini mengantarkan Allah untuk menghadiahi Nabi Ibrahim dengan keutuhan keluarga: sang anak tetap hidup, digantikan dengan domba. Kisah ini memberi petunjuk bahwa kesatuan dengan Tuhan akan diakhiri dengan kebahagiaan yang sejati.

Secara empiris, Hanna Djumhana Bastaman (2001) pernah menanyai banyak pasangan yang menikah minimal 25 tahun. Ia menemukan, keluarga yang kuat selalu menyadari pentingnya agama (baca: kesatuan dengan Allah), sebagai sesuatu yang penting dalam menunjang kebahagiaan keluarga.

Bagi keluarga yang bahagia, menjalani hidup dalam kesatuan dengan Sang Pencipta adalah ciri yang lekat. Semakin tinggi kesatuan dengan Sang Pencipta, semakin tinggi pula tingkat kebahagiaan hidup keluarga.

Kedua, Kesatuan dengan Alam Semesta (Terutama Manusia)
Setiap manusia dan unit kesatuan manusia, semestinya memiliki keterikatan dengan sesama manusia dan alam semesta. Kesatuan dengan alam semesta ini, sesungguhnya merupakan perwujudan dari amanat yang setiap manusia terima untuk menjadi pengganti Tuhan di bumi (khalîfah fil-‘ardh). Panggung aksi dari amanat atau tanggungjawab itu, menurut Ismail al-Faruqi adalah seluruh manusia dan segala yang ada di antara langit dan bumi.

Keluarga yang memiliki keselarasan dengan lingkungan, akan memperoleh ketenangan, kecintaan, dan kasih sayang dari lingkungannya. Semua itu akan memberi sumbangan besar bagi ketenangan, cinta, dan kasih sayang dalam dada mereka. Tanpanya, keluarga akan sering berada dalam ancaman keresahan dan kekhawatiran.

Kesatuan dengan lingkungan diwujudkan dalam bentuk upaya menyelaraskan diri dengan lingkungan, dan memberi sumbangan bagi lingkungan. Penyelarasan terhadap lingkungan, menuntut manusia untuk menyesuaikan diri. Karena lingkungan memiliki kekuatan sendiri.

Berdasarkan pengamatan penulis, kesatuan dengan lingkungan, yang terwujud dalam penyesuaian diri dengan lingkungan, sering menjadi prasayarat bagi ketenangan hidup dalam keluarga. Sebuah riset menunjukkan bahwa orang-orang (termasuk keluarga) yang baru tinggal di negeri asing, akan terhindar dari keterkejutan budaya, bila mereka memiliki seorang atau beberapa kawan penduduk lokal (John W. Berry dkk, 1999).

Keterputusan dengan alam semesta dan lingkungan sosial akan menghadirkan ketidaktenangan, cinta, dan kasih sayang. Sebagai misal, bila kita sakit dan tak satupun tetangga atau sahabat mengunjungi kita, maka sakit kita akan terasa kian pedih.

Lebih dari sekadar menyesuaikan diri, manusia memiliki tugas menyumbang lingkungan. Yaitu untuk memperbaiki dan mengubah lingkungannya. Lingkungan yang tidak kondusif bagi kehidupan makhluk Tuhan, keadaan sosial yang mencelakakan, lingkungan fisik yang penuh dengan persoalan, adalah medan kiprah bagi setiap manusia untuk memperbaiki dan mengubahnya menjadi lebih baik.

Bila tugas ini dilakukan dengan baik, maka manusia menunjukkan kesatuan dengan lingkungannya. Tugas ini secara mengesankan telah ditunjukkan para Nabi, Rasul, juru dakwah, pejuang, pahlawan, pejuang lingkungan, dan sebagainya.

Manusia-manusia yang hidup di masa kini dan mendatang, memiliki tantangan untuk menyumbang lingkungan dalam bentuk perilaku memperbaiki dan mengubah. Bila sumbangan itu dapat kita berikan, maka ketenangan akan kita peroleh. Bila kita acuh tak acuh, maka akan terasa keresahan dan ketidaksatuan kita dengan lingkungan.

Ketiga, Komitmen Berkeluarga
Individu-individu yang pertama kali membentuk keluarga, memiliki niat dan itikad untuk membentuk, mempertahankan dan memelihara pernikahan. Komitmen utama adalah bagaimana keluarga bertahan.

Di sini suami dan istri memiliki niatan untuk mempertahankan keluarga dalam situasi apapun, dan berupaya mengoptimalkan fungsi keluarga untuk memenuhi tanggungjawab vertikal maupun horisontal. Walau gelombang menerjang dan gunung berguguran, komitmen mempertahankan pernikahan tetap dipegang teguh. Menurut Florence Isaacs (Hanna D. Bastaman, 2001), pernikahan yang awet ditandai oleh niat dan itikad untuk mempertahankan pernikahan.

Komitmen lainnya adalah bagaimana keluarga mencapai posisi sebagai keluarga yang barakah, sâkinah, mawaddah, dan rahmah. Di sini ada keinginan, niat, dan itikad untuk meningkatkan mutu berkeluarga. Dengan komitmen itu, pasangan berusaha menghilangkan kebosanan satu terhadap lain, selalu meningkatkan rasa segar (fresh) satu bagi lainnya, dan seterusnya.

Bila komitmen itu tidak dimiliki oleh orang-orang utama dalam keluarga (suami, istri, dan anak-anak), maka keluarga itu dapat ambruk atau memasuki medan penghancuran. Berbagai penelitian empiris menunjukkan, bahwa keluarga broken home yang ditandai percekcokan dan perceraian orangtua, akan menghasilkan anak-anak yang pencemas, rendah diri, apatis, dan sejenisnya (Yeti Fauzia, 2001).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar